MOROWALI UTARA – Inspektur Inspektorat Kabupaten Morowali Utara (Morut), Romel Tungka, mengungkapkan kronologi kasus dugaan korupsi dana desa Peonea senilai Rp. 648.692.101 dalam kurun waktu tahun 2023 dan 2024, yang menyeret bendahara desa sebagai tersangka utama.
Kasus ini bermula dari hasil pemeriksaan rutin Inspektorat Morut terhadap penggunaan Dana Desa dan Alokasi Dana Desa (ADD) tahun 2023. Dari pemeriksaan tersebut, ditemukan sejumlah kejanggalan dalam Surat Pertanggungjawaban (SPJ) serta adanya kekurangan saldo kas desa yang seharusnya masih tersedia.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, ditemukan kejanggalan-kejanggalan dalam SPJ serta terdapat ketekoran uang kas. Setelah melakukan pendalaman lewat pemeriksaan khusus (pensus), ditemukan beberapa penggunaan keuangan desa yang tidak sesuai dengan ketentuan serta adanya saldo kas akhir tahun yang tidak disetorkan ke kas desa,” jelas Romel Tungka.
Bendahara Desa Peonea tahun 2023 pun akhirnya mengakui bahwa ia telah menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadi dan menyatakan kesediaannya untuk mengembalikan uang tersebut, asalkan diberikan waktu tambahan.
“Karena itu, kami selaku Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) memberikan kesempatan selama 90 hari, yakni hingga akhir Desember 2024, bagi yang bersangkutan untuk mengembalikan dana tersebut. Namun, hingga batas waktu yang diberikan, bendahara desa tidak juga mampu mengembalikan uang yang telah digunakannya,” tambah Romel Tungka.
Akibatnya, kasus ini pun berlanjut ke ranah hukum. Pada tahun 2025, Aparat Penegak Hukum (APH) mulai melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut, dan Inspektorat tidak lagi dapat menahan proses hukum karena sebelumnya sudah memberikan kesempatan bagi bendahara untuk menyelesaikan tanggung jawabnya.
Modus Operandi: Penarikan Dana Sekaligus dan Kegiatan Fiktif
Lebih lanjut, Inspektorat menjelaskan bahwa secara umum, titik rawan penyalahgunaan dana desa sering terjadi pada tahap pencairan dan pelaksanaan kegiatan.
“Biasanya, dana desa ditarik sekaligus saat pencairan dan kemudian disimpan oleh bendahara. Di sinilah sering terjadi penyalahgunaan uang tersebut. SPJ pertanggungjawaban biasanya dibuat sesuai dengan rencana kegiatan, tetapi sering kali kegiatan tersebut tidak dilaksanakan,” ungkap Romel Tungka.
Sebagai contoh, terdapat beberapa SPJ perjalanan dinas, konsumsi rapat, pengadaan alat tulis kantor (ATK), bahkan pembayaran honor aparat desa yang ternyata tidak pernah benar-benar terealisasi.
“Khusus untuk Desa Peonea, kami menemukan beberapa kegiatan yang tertulis dalam SPJ, tetapi setelah dilakukan pengecekan langsung ke lapangan dan meminta keterangan dari warga desa, ternyata kegiatan tersebut tidak pernah dilaksanakan. Sehingga, apabila kepala desa tidak terlibat, itu bisa saja terjadi, karena secara administrasi SPJ terlihat sesuai. Apalagi jika kepala desa juga sering tidak berada di tempat,” jelasnya.
Keterlibatan Kepala Desa Masih dalam Penyelidikan
Saat ditanya mengenai kemungkinan keterlibatan kepala desa dalam kasus ini, Inspektorat menegaskan bahwa saat ini baru bendahara desa yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, kemungkinan adanya tersangka lain tetap terbuka, tergantung pada fakta yang terungkap di persidangan.
“Saat ini baru bendahara desa yang ditetapkan sebagai tersangka. Jika dalam proses persidangan nanti hakim melihat dan menilai ada keterlibatan kepala desa, maka bisa saja kepala desa ikut menjadi tersangka berdasarkan fakta yang terungkap,” tegas Romel Tungka.
Kasus dugaan korupsi dana desa ini menjadi peringatan bagi seluruh aparatur desa di Morowali Utara agar lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola anggaran desa. Pemerintah daerah melalui Inspektorat Morut berjanji akan terus melakukan pengawasan ketat terhadap penggunaan dana desa untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang.