Suara Tuhan Lewat Wahyudin Moridu: Sebuah Cermin untuk Para Pemegang Amanah
Kasus yang menjerat anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Wahyudin Moridu, bukan sekadar berita sensasional. Ia adalah potret nyata bagaimana amanah yang berasal dari rakyat dan sejatinya merupakan titipan Tuhan, bisa runtuh ketika dijalankan tanpa integritas. Suara publik yang kecewa, marah, bahkan muak, sebenarnya adalah gema dari “suara Tuhan” yang mengingatkan bahwa kekuasaan adalah ujian, bukan privilese semata.
Wahyudin Moridu, yang masih muda dan digadang-gadang menjadi figur perubahan, justru tergelincir dalam perilaku yang dianggap kebablasan. Ucapannya yang menyakiti hati masyarakat, bahkan sampai pada pernyataan kontroversial tentang “merampok uang negara” menghadirkan badai kecaman. Di tengah rakyat yang sedang berjuang melawan kesulitan hidup, bahasa semacam itu bukan hanya menyakitkan, tetapi juga melukai kepercayaan publik.
Sanksi partai yang dijatuhkan hingga pencopotan kursi legislatif adalah konsekuensi hukum dunia. Namun, jika kita mau lebih dalam merenung, Dalam agama Islam, Tuhan pernah berfirman dalam Qur’an Surah Ali Imran ayat 26 yang bunyinya kurang lebih begini: “Kekuasaan itu di tangan Tuhan. Dia yang memberi, dan Dia pula yang mencabutnya.” singkat, tapi maknanya besar sekali.
Ayat ini bukan hanya peringatan bagi Wahyudin Moridu, tetapi bagi semua pemegang amanah: kekuasaan itu tidak abadi. Ia diberikan bukan untuk disalahgunakan, melainkan untuk mengabdi. Ketika seorang pejabat memegang jabatan dengan niat dan perilaku yang melenceng, cepat atau lambat Tuhan akan mencabutnya, melalui mekanisme dunia, opini publik, atau bahkan kehendak-Nya secara langsung.
Kitab Suci pun mengajarkan hal serupa dalam tradisi Kristen. Kolose 3:23 menegaskan:
“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”
Pesan ini universal. Ia menegaskan bahwa pekerjaan dan jabatan publik harus dijalankan dengan sepenuh hati, tulus, dan berorientasi pada kemaslahatan, seolah-olah kita bekerja langsung untuk Tuhan, bukan untuk atasan, partai, atau keuntungan pribadi.
Kasus Wahyudin Moridu bisa kita maknai sebagai teguran ilahi, sebuah “suara Tuhan” yang mengingatkan kita semua, terutama para pemegang amanah publik. Kekuasaan dan jabatan bukanlah hak yang melekat selamanya. Ia adalah karunia yang sewaktu-waktu bisa diambil. Ia adalah ladang amal yang hanya menghasilkan buah jika ditanam dengan keikhlasan, integritas, dan keberpihakan pada rakyat.
Para pejabat, politisi, dan siapa pun yang memegang tanggung jawab publik sepatutnya belajar dari ini: jangan pernah menganggap kekuasaan sebagai kesempatan untuk menumpuk keuntungan pribadi. Lihatlah jabatan ada sebagai sarana pengabdian, karena cepat atau lambat, suara rakyat yang kecewa sesuatu.’” adalah gema dari “suara Tuhan” yang akan menagih pertanggungjawaban.







Komentar