oleh

Perpustakaan di Persimpangan Zaman: Tenggelam Ditengah Gelombang Digitalisasi

Masih sering Anda pergi ke perpustakaan?”

Pertanyaan ini kian terasa janggal di era ketika pengetahuan bisa diunduh dalam hitungan detik. Layar gawai telah menggeser rak buku, dan mesin pencari menjadi lebih akrab daripada pustakawan. Perpustakaan, yang dulu menjadi ruang sakral bagi para pencari ilmu, perlahan kehilangan pesonanya.

Pemandangan siswa yang memanfaatkan jam istirahat untuk membaca buku kini hampir sirna. Mereka lebih larut dalam gawai di genggaman masing-masing. Rendahnya minat baca di banyak daerah Indonesia memperparah keadaan. Literasi, yang hakikatnya tak hanya membaca tetapi juga memahami dan mengkritisi informasi, menjadi tantangan yang makin berat di tengah banjir konten digital.

Namun, ironinya terasa begitu tajam di Morowali Utara. Proyek pembangunan perpustakaan megah dua lantai dengan anggaran fantastis Rp11 miliar pada 2024, ditambah Rp1,8 miliar pada 2025, seakan menjadi jawaban atas krisis literasi. Gedungnya berdiri gagah, lengkap dengan komputer dan buku. Tetapi jumlah koleksi buku hanya 1.644 eksemplar dengan 907 judul, angka yang terasa kecil dibandingkan investasi yang digelontorkan.

Pertanyaan besar pun muncul: di tengah arus digitalisasi yang kian deras, masihkah perpustakaan dibutuhkan? Ataukah bangunan kokoh itu akan menjadi monumen sunyi, saksi bisu pergeseran budaya baca?

Harapan tetap ada. Perpustakaan ini bisa menjadi lebih dari sekadar rak buku dan ruang baca. Ia bisa bertransformasi menjadi pusat literasi digital, ruang kreatif, dan tempat pembelajaran yang menggabungkan teknologi dengan nilai-nilai literasi klasik. Tanpa itu, bukan mustahil perpustakaan akan benar-benar tenggelam, ditinggalkan generasi yang lebih memilih layar ketimbang lembaran buku.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *